Pages

Pages

Minggu, 04 Oktober 2015

Balaghoh Ilmu Ma’ani

        I.            PENDAHULUAN
Pada awalnya struktur ilmu balaghah belumlah lengkap seperti yang kita kenal sekarang. Setelah mengalami berbagai fase perkembangan dan penyempurnaan akhirnya disepakati bahwa ilmu ini membahas tiga kajian utama, yaitu ilmu bayan, ma’ani dan badi’.[1]Dalam hal ini pemakalah lebih menjelaskan ilmu ma’ani karena ilmu tersebutlah yang menjadi fokus kami di perkuliahan semester sekarang ini. Secara umum, sebenarnya tujuan ketiga cabang dari Ilmu Balaghah ini sama, yaitu bagamana cara mengungkapkan sesuatu yang indah dengan cara yang indah pula. Untuk itu, perlu pemahaman lebih lanjut mengenai keilmuan ini (ilmu ma’ani). Adapun fokus kajian ilmu ma’ani adalah membahas bagaimana kita mengungkapkan sesuatu ide fikiran atau perasaan ke dalam bahasa yang sesuai dengan konteksnya. Ilmu ini disusun untuk menjelaskan keistimewaan dan keindahan susunan bahasa Alquran dan segi kemukjizatannya dan juga disusun setelah muncul dan berkembangnya ilmu nahwu dan sharaf. Seiring berjalannya waktu, banyak perkembangan yang pesat terhadap keilmuan ini dan itulah yang akan kami bahas dalam makalah ini selain pengertian dan tokoh-tokohnya.

     II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian Ilmu Ma’ani
B.     Sejarah Muncul dan Berkembangnya Ilmu Ma’ani
C.     Tokoh-tokoh Ilmu Balaghah dan Ilmu Ma’ani

 III.            Pembahasan
A.    Pengertian Ilmu Ma’ani
( معانى ) merupakan bentuk jamak dari ( معنى ). Secara leksikal kata tersebut berarti maksud, arti atau makna. Para ahli ilmu Bayan mendefinisikannya sebagai pengungkapan melalui ucapan tentang sesuatu yang ada dalam pikiran atau disebut juga sebagai gambaran dari pikiran.
Sedangkan menurut istilah Ilmu Ma’ani adalah sebagai berikut.
علمتعرفبهأحوالاللفظالعربيالتىبهايطابقمقتضىالحال
"Ilmu untuk mengetahui hal-ihwal lafazh bahasa Arab yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi."[2]
Adapun yang dimaksud dengan hal ihwal lafazh bahasa Arab adalah model-model susunan kalimat dalam bahasa Arab, seperti penggunaan taqdîm atau ta’khîr, penggunaan ma’rifat atau nakirah, disebut (dzikr) atau dibuang (hadzf), dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan situasi dan kondisi adalah situasi dan kondisi mukhathab, seperti keadaan kosong dari informasi itu, atau ragu-ragu, atau malah mengingkari informasi tersebut. Ilmu Ma’ani pertama kali dikembangkan oleh Abd al-Qahir al-Jurzani.
Objek kajian ilmu bayan adalah kalimat-kalimat berbahasa Arab. Ditemukannya ilmu ini bertujuan untuk mengungkap kemukjizatan Alquran, hadits dan rahasia-rahasia kefasihan kalimat-kalimat bahasa Arab, baik puisi maupun prosa. Dengan melalui ilmu ini kita bisa membedakan kalimat-kalimat yang sesuai dengan situasi dan kondisinya, mengetahui kalimat-kalimat yang tersusun rapi, dan dapat membedakan antara kalimat yang baik dan jelek.

B.     Sejarah Muncul dan Berkembangnya Ilmu Ma’ani
1)      Pra Turunnya Al-Qur’an
Orang-orang Arab Jahiliyah pra turunnya Al-Qur’an telah dikenal sebagai ahli sastra yang kompeten. Mereka mampu menggubah lirik-lirik sya’ir atau bait-bait puisi yang mempesona yang menunjukkan kesadaran dan keahlian mereka dalam bidang sastra yang bernilai tinggikehidupan orang Arab sebelum pra turunnya Al-Qur’an mempunyai karakter yang erat berkaitan dengan bahasa dan keindahannya, kehidupan mereka yang selalu dilandasi atas dasar membanggakan keturunan, dudukan, bahasa, dan lain-lainya mempunyai efek terhadap bahasa, di mana disaat mereka membanggakan bahasanya. Kelahiran dan pertumbuhan Balaghah (termasuk Ilmu Ma’ani) dikalangan masyarakat penggunanya bersifat arbitrer
Hal ini berarti bahwa orang Arab tidak hanya membanggakan begitu saja terhadap bahasanya, tetapi mereka juga berusaha agar yang mereka bangga-banggakan betul-betul berkualitas sehingga tidak dapat dikalahkan oleh yang lainnya. Kompetisi ini secara langsung berimbas pada keindahan bahasa dan fashohahnya, yang menunjukan bahwa mereka sudah mengenal Al-Balaghah al-kalam. Buktiyang menunjukan bahwa masyarakat Arab sudah mengenal dan menguasai al-balaghah adalah mu’jizat Rasul yang menantang mereka untuk membuat yang serupa dengan fashohah dan balaghoh al-Qur’an dengan gaya bahasanya yang sangat tinggi. Walaupun mereka tidak mampu, namun tantangan ini merupakan bukti bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk membuat ibaraat dengan gaya bahasa dan fashahah yang tinggi.

Diriwayatkan bahwa Al-Walid bin Al-Mughirah salah seorang musuh bebuyutan Rasulullah saw mendengan ayat-ayat al-Qur’an yang dibacakan Rasulullah SAW, kemudian ia berkata:
"والله لقد سمعت من محمد كلاما، ما هو من كلام الإنس ولا من كلام الجن، وإن له لحلاوة، وإن عليه لطلاوة، وإن أعلاه لمثمر، وإن أسفله لمغدق".
Artinya: “Demi Allah saya telah mendengar sebuah kalam (ayat al-Quran) dari Muhammad, ungkapannya bukanlah ungkapan manusia taupun jin, sesungguhnya ungkapan tersebut sangat bagus dan indah, permulaannya sangat berisi dan lebih lagi di penutupnya”.[3](Dhaif, 1999:9).
Kekaguman al-Walid ini menunjukan bahwa masyarakat Arab telah mengenal akan fashohah dan balaghoh dalam sebuah ungkapan dan mempu untuk menilainya dengan objektif.
Al-Balaghah pada zaman Jahiliyah belum dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu yang sudah matang dan mempunyai mustholahat yang terdefinisi dengan jelas. Dalam karya-karya mereka sangat banyak ditemukan akan balignya (indah dan tingginya) ungkapan mereka, secara teoritis Al-Balaghah belum dikenal, tetapi sudah dipraktekkan dan diterapkan dalam karya-karya mereka baik berupa syi’ir maupun natsr.[4](Al-Mubarak, 1999:19).

2)      Pasca Turunnya Al-Qur’an
Sebagaimana dilihat sebelumnya bahwa keberadaan Balaghah pasca turunnya al-Qur’an sudah demikian berkembang, lebih-lebih setelah turunnya al-Qur’an. Keindahan dan kelembutan berbahasa merupakan pokok kajian yang tak habis-habisnya, yang telah melahirkan banyak ungkapan-ungkapan yang indah dan bermakna dalam kepustakaan sastra, terutama setelah turunnya al-Qur’an yang merupakan salah satu inspirator dalam melahirkan keindahan dan kelembutan berbahasa tersebut.[5]
Dalam tradisi Islam, al-Qur’an dipandang sebagai salah satu sumber keindahan atau ke-balaghah-an bagi para penyair dan penulis prosa. Al-Qur’an, diakui oleh mereka sebagai puncak balagah dan merupakan model utama dalam rujukan penggubahan syai’r.
Kedudukan al-Qur’an begitu penting dan berpengaruh besar terhadap pola hidup, pola pikir, dan pola tutur umat Islam. Seluruh umat sepakat bahwa salah satu bentuk kemukjizatan al-Qur’an adalah keindahan bahasanya yang tak tertandingi oleh ungkapan manapun. Gagasan tentang nilai keindahan dan keluhuran tradisi sastra al-Qur’an tidak hanya diakui dalam kesusastraan dan kebahasaan, namun hal tersebut telah menjadi doktrin agama yang mendasar. Otentisitas al-Qur’an didasarkan atas ajaran ketidakmungkinan al-Qur’an untuk dapat ditiru oleh siapapun, baik dari sisi kandungannya, maupun sisi keindahannya. Itulah konsep I’jaz al-Qur’an, kemukjizatan al-Qur’an yang tak tertandingi. Tidak seorangpun manusia yang bisa membuat ungkapan-ungkapan yang serupa dengan al-Qur’an
. Bahkan sebagian pakar sastra mencoba dengan sadar dan seksama untuk menyamai bahkan melampaui keindahan al-Qur’an. Upaya-upaya tersebut mereka lakukan untuk meladeni tantangan al-Qur’an yang begitu menggugah orang-orang yang memiliki keahlian dan keberanian di antara mereka, meski usaha tersebut tidak pernah berhasil. Tantangan al-Qur’an itu semakin menarik perhatian mereka disamping telah adanya rasa cinta terhadap keindahan dan ketinggian bahasa yang melekat kuat dalam jiwa mereka sejak masa pra turunnya al-Qur’an.[6]
Sampai masa permulaan Islam ini keberadaan ilmu Balaghah sebagai suatu disiplin ilmu yang utuh seperti saat ini belum terkodifikasi, namun ia terus mengalami perkembangan sedikit demi sedikit. Diawali dengan kajian sastra terhadap beberapa sya’ir dan pidato-pidato orang Jahiliah, dilanjutkan dengan mengulas sya’ir dan sastra pada masa awal Islam, sampai kepada masa pemerintahan Daulah Umaiyah, ia terus mengalami perkembangan yang menggembirakan.[7]
Kitab yang pertama kali disusun dalam bidang balaghah adalah tentang ilmu bayan, yaitu kitab Majazul Qur’an karangan Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (w. 208), murid Al-Khalil (w. 170 H).Sedangkan ilmu ma’ani, maka tidak diketahui pasti orang pertama kali yang menyusun tentang ilmu tersebut. Namun, ilmu ini sangat kental dalam pembicaraan para ulama, terutama al-Jahidz (w. 255 H) dalam I’jazul Quran-nya.Adapun penyusun kitab tentang ilmu badi’ pada masa awal, yang dianggap sebagai pelopor, adalah Abdullah Ibn al-Mu’taz (w. 296 H) dan Qudamah bin Ja’far .[8]Dan Al-Jahizh dipandang sebagai tokoh yang sangat berjasa dalam sejarah perkembangan ilmu Balaghah secara umum dan ilmu Bayan secara khusus, lewat karya tulisnya yang lain berjudul al-Bayan wa al-Tabyin.[9]
Ilmu Balaghah terus mengalami perkembangan sehingga mencapai banyak kemajuan ditandai dengan semakin utuhnya kajian-kajian didalamnya yang tertuang dalam dua kitab yang disusun oleh Imam Abdul Qahir al-Jurjani. Kedua kitab tersebut adalah : Pertama, kitab Asrarul Balaghah yang berisi Ilmu Ma’ani yang merupakan bagian dari Balaghah. Kedua, kitab I’jazul Qur’an, yang berisi tentang keindahan susunan kata dan konteksnya, dengan keindahan makna yang merupakan keistimewaan uslub Al-Qur’an yang menunjukkan kemukjizatannya.
Kemudian disusul dengan kemunculan Imam As-Sakaki yang semakin mematangkan keberadaan Ilmu Balaghah sebagai disiplin Ilmu. Beliau menyusun sebuah karya besar yang menguraikan ilmu tersebut disamping ilmu-ilmu pengetahuan bahasa Arab lainnya. Kitab tersebut dikenal dengan nama Miftahul ‘Ulum.[10]
Sedangkan pembagian ilmu Balaghah ke dalam tiga istilah (Ilmu Ma’ani, Bayan, dan Badi’) seperti yang dikenal sekarang dilakukan oleh Al-Khatib al-Qazwainy (w. 729 H) pada abad ke-VII H dalam karyanya yang bernama Talkhisul Miftah yang merupakan ringkasan dari kitab Miftahul ‘Ulum karya As-Sakaki.[11]

C.     Tokoh-tokoh Ilmu Balaghah dan Ilmu Ma’ani
 Ilmu ma’ani membahas bagaimana kita mengungkapkan sesuatu ide fikiran atau perasaan ke dalam bahasa yang sesuai dengan konteksnya. Tokoh pertama yang mengarang buku dalam bidang ilmu bayân adalah Abû Ubaidah dengan kitabnya Majâz Alquran. Beliau adalah murid al-Khalil. Dalam bidang ilmu ma’âni, kitab I’jâz Alquran yang dikarang oleh al-Jâhizh merupakan kitab pertama yang membahas masalah ini. Sedangkan kitab pertama dalam ilmu badî’ adalah karangan Ibn al-Mu’taz dan Qudâmah bin Ja’far. Pada fase berikutnya, munculah seorang ahli balâghah yang termashur,beliau adalah Abd al-Qâhir al-Jurzâni yang mengarang kitab Dalâil al-I‘jâz dalam ilmu ma’âni dan Asrâr al-Balâghah dalam ilmu bayân. Setelah itu muncullah Sakkâki yang mengarang kitab Miftah al-Ulûm yang mencakup segala masalah dalam ilmu balâghah. Selain tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, masih banyak lagi tokoh yang mempunyai andil dalam pengembangan ilmu balâghah, yaitu:
1.      Hasan bin Tsabit, beliau seorang penyair Rasullullah saw. Orang Arab sepakat bahwa ia adalah seorang tokoh penyair dari kampung. Suatu pendapat menyatakan bahwa ia hidup selama 120 tahun; 60 tahun dalam masa Jahiliyah dan 60 tahun dalam masa keislaman. Ia meninggal pada tahun 54 H.
2.      Abu-Thayyib, beliau adalah Muhammad bin al-Husain seorang penyair kondang. Ia mendalami kata-kata bahasa Arab yang aneh. Syi’irnya sangat indah dan memiliki keistimewaan, bercorak filosofis, banyak kata-kata kiasannya dan beliau mampu menguraikan rahasia jiwa. Ia dilahirkan di Kufah, tepatnya di sebuah tempat bernama Kindah pada tahun 303 H, dan wafat tahun 354 H.
3.      Umru’ al-Qais, ia tokoh penyair Jahiliyah yang merintis pembagian bab-bab dan macam-macam syi’ir. Ia dilahirkan pada tahun 130 sebelum Hijriyah. Nenek moyangnya adalah para raja dan bangsawan Kindah. Ia wafat pada tahun 80 sebelum Hijriyah. Syi’ir-syi’irnya yang pernah tergantung di Ka’bah sangat masyhur.
4.       Abu Tammam (Habib bin Aus Ath-Tha’i), ia seorang penyair yang masyhur, satu-satunya orang yang mendalam pengetahuannya tentang maâni, fashahah al-syâir, dan banyak hafalannya. Ia wafat di Mosul pada tahun 231 Hijriyah.
5.       Jarir bin Athiyah al-Tamimi, ia seorang di antara tiga penyair terkemuka pada masa pemerintahan Bani Umayah. Mereka adalah al-Akhthal, Jarir, dan al- Farazdaq. Dalam beberapa segi ia melebihi kedua rekannya. Dia wafat pada tahun 110 H.
6.       Al-Buhturi, ia seorang penyair Bani Abasiyah yang profesional. Ketika Abu al- ‘A’la al-Ma’arri ditanya tentang al-Buhtury dia berkata, “Siapakah yang ahli syi’ir di antara tiga orang ini, Abu Tammam, al-Buhturi, ataukah al- Mutanabbi?” Ia menjawab, “Abu Tamam dan al-Mutanabbi keduanya adalah para pilosof; sedangkan yang penyair adalah al-Buhturi”. Dia lahir di Manbaj dan wafat di sana pada tahun 284 H.”
7.       Saif al-Daulah, ia adalah Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Hamdan, raja Halab yang sangat cinta syi’ir. Lahir tahun 303, wafat tahun 356.
8.      Ibnu Waki’, ia seorang penyair ulung dari Baghdad. Lahir di Mesir dan wafat di sana pada tahun 393 H.
9.       Ibn Khayyath, ia seorang penyair dari Damaskus. Ia telah menjelajahi beberapa negara dan banyak mendapatkan pujian dari masyarakat yang mengenalnya. Ia sangat masyhur, karena karya-karyanya khususnya pada buku-buku syi’ir yang sangat populer. Ia wafat pada tahun 517 H.
10.   Al-Ma’arri, ia adalah Abu al-‘Ala’ al-Ma’arri. Dia seorang sastrawan, pilosof dan penyair masyhur, lahir di Ma’arrah (kota kecil di Syam). Matanya buta karena sakit cacar ketika berusia empat tahun. Dia meninggal di Ma’arrah pada tahun 449 H.
11.  Ibn Ta’awidzi, ia adalah penyair dan sastrawan Sibth bin at-Ta’awidzi. Wafat di Baghdad pada tahun 584 H, dan sebelumnya buta selama lima tahun.
12.  Abu Fath Kusyajin, ia seorang penyair profesional dan terbilang sebagai pakar sastra. Ia cukup lama menetap di Mesir dan berhasil mengharumkan negeri itu. Dia wafat pada tahun 330 H.
13.  Ibn Khafajah, ia seorang penyair dari Andalus. Ia tidak mengharapkan kemurahan para raja sekalipun mereka menyukai sastra dan para sastrawan. Ia wafat pada tahun 533 H.
14.  Muslim bin al-Walid, ia dijuluki dengan Shari’ al-Ghawani. Ia seorang penyair profesional dari dinasti Abbasiyah. Ia adalah orang yang pertama kali menggantungkan syi’irnya kepada Badî’. Dia wafat pada tahun 208 H.
15.  Abu al-‘Atahiyah, ia adalah Ishaq bin Ismail bin al-Qasim, lahir di Kufah pada tahun 130 H. Syi’irnya mudah di pahami, padat dan tidak banyak mengada-ada. Kebanyakan syi’irnya tentang zuhud dan peribahasa. Dia wafat pada tahun 211 H.
16.  1Ibn Nabih, ia seorang penyair dan penulis dari Mesir. Ia memuji Ayyubiyyin dan menangani sebuah karya sastra berbentuk prosa buat Raja al-Asyraf Musa. Ia pindah ke Mishshibin dan wafat di sana pada tahun 619 H.
17.  Basysyar bin Burd, ia seorang penyair masyhur. Para periwayat menilainya sebagai seorang penyair yang modern lagi indah. Ia penyair dua zaman, Bani Umayah dan Bani Abasiyah. Dia wafat pada tahun 167 H.
18.  Al-Nabighah Al-Dzubyani, ia adalah seorang penyair Jahiliyah. Ia dinamai Nabighah karena kejeniusannya dalam bidang syi’ir. Ia dinilai oleh Abd al- Malik bin Marwan sebagai seorang Arab yang paling mahir bersyi’ir. Ia adalah penyair khusus Raja Nu’man Ibn al-Mundzir. Di zaman Jahiliyah, ia mempunyai kemah merah khusus untuknya di pasar tahunan Ukash. Para penyair lain berdatangan kepadanya, lalu mereka mendendangkan syi’irsyi’irnya untuk ia nilai. Ia wafat sebelum kerasulan Muhammad saw.
19.  Abu al-Hasan al-Anbari, ia seorang penyair kondang yang hidup di Baghdad. Ia wafat pada tahun 328 H. Ia terkenal dengan ratapannya kepada Abu Thahirbin Baqiyah, patih ‘Izz al-Daulah, ketika ia dihukum mati dan tubuhnyadisalib. Maratsi-nya (ratapannya) itu merupakan maratsi yang paling jarangmengenai orang yang mati disalib. Karena ketinggiannya, Izzud Daulahsendiri memerintahkan agar dia disalib. Dan seandainya ia sendiri yangdisalib, lalu dibuatkan maratsi tersebut untuknya.
20.  Syarif Ridha, ia adalah Abu al-Hasan Muhammad yang nasabnya sampaikepada Husain bin Ali as. Ia seorang yang berwibawa dan menjaga kesuciandirinya. Ia disebut sebagai tokoh syi’ir Quraisy karena orang yang pintar di antara mereka tidak banyak karyanya, dan orang yang banyak karyanya tidak pintar, sedangkan ia menguasai keduanya. Ia lahir di Baghdad dan wafat di sana pada tahun 406 H.
21.  Said bin Hasyim al-Khalidi, ia seorang penyair keturunan Abdul Qais. Kekuatan hafalannya sangat mengagumkan. Ia banyak menulis buku-buku sastra dan syi’ir. Ia wafat pada tahun 400 H.
22.  Antarah, ia adalah seorang penyair periode pertama. Ibunya berkebangsaan Ethiopia. Ia terkenal berani dan menonjol. Ia wafat tujuh tahun sebelum kerasulan Muhammad. Ibnu Syuhaid al-Andalusi, ia dari keturunan Syahid al-Asyja’i. Ia seorang pemuka Andalus dalam ilmu sastra. Ia dapat bersyi’ir dengan indah dan karya tulisnya bagus. Ia wafat di Kordova, tempat kelahirannya pada tahun 426 H. Al-Abyuwardi, ia adalah seorang penyair yang fasîh, ahli riwayat, dan ahli nasab. Karya-karyanya dalam bidang bahasa tiada duanya. Ia wafat di Ishbahan pada tahun 558 H. Abiyuwardi adalah nama kota kecil di Khurasan.
23.  Ibnu Sinan al-Kahfaji, ia adalah seorang penyair dan sastrawan yang berpendirian syi’ah. Ia diangkat menjadi wali pada salah satu benteng di Halab oleh Raja Mahmud bin Saleh, tetapi ia memberontak terhadap raja. Akhirnya ia mati diracun pada tahun 466 H.
24.  Ibnu Nubatah Al-Sa’di, ia adalah Abu Nashr Abd al-Aziz, seorang penyair ulung yang sangat lihai dalam merangkai dan memilih kata. Ia wafat pada tahun 405 H.




D.    KESIMPULAN

















E.     PENUTUP
Segala puji bagi Allah. Akhirnya makalah yang sederhana ini bisa terselesaikan. Meski begitu, masih banyak kesalahan, baik dalam tulisan ataupun lainnya yang berkaitan dengan maalah ini. Untuk itu, kami berharap kritik dan saran dari dari dosen maupun teman-teman yang membaca makalah ini.
Adapun kesimpulan tentang pembahasan Ilmu Ma’ani ini yaitu:
( معانى ) merupakan bentuk jamak dari ( معنى ). Secara leksikal kata tersebut berarti maksud, arti atau makna. Para ahli ilmu Bayan mendefinisikannya sebagai pengungkapan melalui ucapan tentang sesuatu yang ada dalam pikiran atau disebut juga sebagai gambaran dari pikiran.
 Sedangkan menurut istilah Ilmu Ma’ani adalah sebagai berikut.
علميعرفبهأحوالاللفظالعربيالتىبهايطابقمقتضىالحال
"Ilmu untuk mengetahui hal-ihwal lafazh bahasa Arab yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi."
Secara umum seperti itulah Ilmu Ma’ani. Masih banyak pembahasn tentang ilmu ini baik dari segi objek kajiannya dan sebagainya. Untuk itu, kami hanya menjelasakan secara umum saja mengenai Ilmu Ma’ani ini, dari segi pengertian sampai tokoh-tokohnya yang itu pun tidak jauh berbeda dengan Ilmu Balaghah dan cabang ilmu lainnya (Ilmu Bayan dan Ilmu Badi’).






[2]Jalaluddin Abdurrahman As-suyuti, syarah ‘uqudul juman, (semarang: Al-munawwar, Tth), hlm.8
[5]George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam, terj. A. syamsu Rizal & Nur Hidayah, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005), hlm. 228.

[6]George A. Makdisi, Op.cit. h. 226.
[7]Abdul Jalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), cet. Ke-II. h. 370.
[8]Ahmad Alhasyimi, Op.Cit. hlm 5
[9]A. Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an, (Jakarta: Fikra, 2006), hlm. 31.
[10]Ahmad Alhasyimi, Op.cit. hlm. 5
[11]A. Thib Raya, Op.cit. hlm 39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar