Minggu, 04 Oktober 2015

المجاز المرسل

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah:  Balaghah II
Dosen Pengampu: Mahfudz Siddiq, Lc., MA





Disusun oleh:
Dewi Azzahroh           (113211005)
Ely Herlina                  (113211006)




FAKULTAS  ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.                   PENDAHULUAN
Ilmu balaghah merupakan sebuah ilmu yang mengolah tentang keindahan kata yang mendatangkan makna yang indah dan jelas, dengan ungkapan yang benar dan fashih sehingga memberi kesan yang mendalam didalam hati pendengar serta sesuai dengan situasi dan kondisi orang-orang yang diajak bicara.
Salah satu cabang dari ilmu balaghah adalah ilmu bayan yang mana telah dibahaspada materi sebelumnya, yakni tentang tasybih, yaitu ungkapan yang di dalamnya terdapat pengertian penyerupaan atau perserikatan antara dua perkara.
Selain tasybih termasuk dalam pembahasan ilmu bayan yaitu juga meliputi tentang majaz, dalam hal ini majaz yang merupakan ungkapan yang menggunakan makna yang bukan sebenarnya yang terdapat hubungan diantara makna haqiqi dan makna majazi juga dibagi menjadi dua yaitu majaz mursal dan majaz aqly.
Adapun mengenai penjelasan lebih lanjut tentang  majaz mursal, dalam makalah ini akan dibahas tentang majaz mursal dan pembagiannya.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian majaz mursal?
B.     Apa macam-macam majaz mursal?

III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian Majaz Mursal
Definisi majaz mursal menurut Ali Jarim dan Musthofa Amin dalam al Balaghah al wadhihah,
المجاز المرسل كلمة استعملت في غير معناها الأصلي لعلاقة غير المشابهة مع قرينة مانعة من إرادة المعنى الأصلي.[1]
Majaz mursal adalah kata yang digunakan bukan untuk maknanya yang asli karena adanya hubungan yang selain keserupaan serta ada qorinah yang menghalangi pemahaman dengan makna yang asli.[2]


Menurut Muhammad Ghufron Zainal ‘Alim
المجاز المرسل هو المجاز الذى تكون العلا قة بين المعنى الحقيقي والمعنى المجازي غير المشابهة.[3]
Majaz mursal adalah majaz yang mempunyai hubungan antara makna hakiki dan makna majazi yang tidak serupa.
Adapun menurut Emil Badi’ Ya’qub dalam bukunya al- Muayyin fi al balaghah
المجاز المرسل وهو استعمال الكالمة في غير معناها الحقيقي لعلا قة بينها وبين المعنى المجازي غير المشابهة مع وجود قرينة تمنع إرادة المعنى الحقيقي للكلمة.[4]
Majaz mursal adalah penggunaan kata bukan untuk makna yang sebenarnya karena adanya hubungan dengan makna majazi yang selain keserupaan serta adanya qorinah yang menghalangi pemahaman makna kata yang sebenarnya.

Jadi, dari ketiga definisi diatas dapat disimpulkan bahwa majaz mursal yaitu penggunaan kata yang bukan untuk makna sebenarnya karena adanya hubungan antara makna hakiki dan makna majazi yang tidak serupa dan disertai adanya qorinah yang tidak memperbolehkan memahami kata tersebut dengan makna aslinya.

B.     Macam-Macam Majaz Mursal
Macam-macam majaz mursal ada 8, yaitu:
1.         السببية(Sababiyah)
Mengucapkan musababnya sedangkan yang dimaksud adalah sebab.Seperti:
أياد على سا بغة     #     أعد منها ولا أعددهاله.
Yang dimaksud lafadz أياد adalah makna yang bukan  sebenarnya. Karena manusia hanya mempunyai dua tangan dan bukan banyak tangan. Lafadz tersebut mengandung makna yang majazy. Dan diartikan sebagai kenikmatan-kenikmatan. Makna hakiki lafadz rsebut adalah tangan-tangan sedang makna majazinya adalah kenikmatan-kenikmatan. Tangan menjadi sebab adanya kenikmatan-kenikmatan.
2.        المسببية(Musabbabiyah)
Mengucapkan sebab sedangkan yang dimaksudkan adalah musababnya. Sepertiغيثارعينا
Kami memelihara hujan. Padahal yang dimaksudkan adalah tanaman. Tanaman tumbuh sebab ada hujan.
3.         الجزئية(Juz’iyyah)
Ada kalimat kulli, sedangkan yang dimaksudkan adalah juz’i, seperti lafal اصابع yang artinya jari padahal yang dimaksudkan adalah انامل yang artinya ujung jari.
4.         الكلية(Kulliyyah)
Mengungkapkan keseluruhan, tetapi maksudnya adalah sebagian.
Seperti:
šcqä9qà)tƒNÎgÏdºuqøùr'Î/$¨B}§øŠs9ÎûöNÍkÍ5qè=è%3ª!$#urãNn=÷ær&$oÿÏ3tbqßJçFõ3tƒÇÊÏÐÈ
“Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. dan Allah lebih mengetahui dalam hatinya. dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.”(QS. Ali Imron: 167).
Allah menggunakan lafadz NÎgÏdºuqøùr'yang berarti mulut-mulut mereka. Orang tidak bicara dengan mulut tapi dengan lisan, namun kita boleh mengatakan dengan ungkapan بالأفواهنتكلم, yang dimaksud dengan lafal أفواه adalah makna majazinya, yaitu lisan.[5]
5.        إعتبارماكان(I’tibar ma kaana)
Memperhitungkan perkara yang telah terjadi.



Contoh:
(#qè?#uäur#yJ»tFuø9$#öNæhs9ºuqøBr&(Ÿwur(#qä9£t7oKs?y]ŠÎ7sƒø:$#É=Íh©Ü9$$Î/(Ÿwur(#þqè=ä.ù's?öNçlm;ºuqøBr&#n<Î)öNä3Ï9ºuqøBr&4¼çm¯RÎ)tb%x.$\/qãm#ZŽÎ6x.ÇËÈ
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’:2).
Lafadz اليتمى yang berarti anak-anak yatim yang telah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya, benarkah ini makna yang sebenarnya?
Tidak, makna majazinya adalah orang sudah dewasa yang dulunya anak yatim.
6.       إعتبار ما يكون(I’tibar ma yakuunu)
Memperhitungkan masa yang akan datang atau sesuatu yang akan terjadi.
Contoh:
إني أراني أعصر خمرا
Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku memeras anggur
Benarkah yang dimaksud dalam ayat ini arti yang sebenarnya?
Seseorang tidak dapat memeras anggur, tetapi yang diperas adalah buah anggur yang kemudian menjadi anggur.
7.      المحلية(Mahalliyyah)
Menyebutkan tempat, namun yang dimaksud adalah orang atau sesuatu yang menempatinya.
Contoh:
È@t«óursptƒös)ø9$#ÓÉL©9$#$¨Zà2$pkŽÏùuŽÏèø9$#urûÓÉL©9$#$uZù=t6ø%r&$pkŽÏù($¯RÎ)uršcqè%Ï»|Ás9ÇÑËÈ
“Dan tanyalah (penduduk) negeri yang Kami berada disitu, dan kafilah yang Kami datang bersamanya, dan Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang benar.”(QS. Yusuf: 82).
Yang dimaksud dengan lafadz قرية bukan makna hakikinya yaitu desa, akan tetapi orang yang menetap di desa itu, yaitu penduduk desa. Yang dikemukakan adalah desa tetapi yang dimaksud adalah penduduk desa tersebut.
8.      الحالية(Haaliyah)
Menyebutkan tentang suatu hal yang menempati suatu tempat, namun yang dimaksud adalah tempatnya itu.
Contoh:
¨bÎ)u#tö/F{$#Å"s9AOÏètRÇËËÈ
“Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (syurga). “(QS. Al-Muthoffifin:22).

Kenikmatan itu tidak dapat ditempati oleh manusia karena kenikmatan itu sesuatu yang bersifat abstrak. Yang bisa ditempati adalah tempat kenikmatan itu. Maka penggunaan kata kenikmatan disini adalah majaz, yaitu menyebutkan sesuatu yang menempati suatu tempat tetapi yang dimaksud suatu tempat tetapi yang dimaksud adalah tempat itu.[6]

IV.             KESIMPULAN
1.      Majaz mursal yaitu penggunaan kata yang bukan untuk makna sebenarnya karena adanya hubungan antara makna hakiki dan makna majazi yang tidak serupa dan disertai adanya qorinah yang tidak memperbolehkan memahami kata tersebut dengan makna aslinya.
2.      Macam-macam majaz mursal adalah السببية(Sababiyah), المسببية(Musabbabiyah), الجزئية(Juz’iyyah), الكلية(Kulliyyah), اعتبارماكان(I’tibar ma kaana), اعتبارما يكون(I’tibar ma yakuunu), المحلية (Mahalliyyah), الحالية(Haaliyah).

V.                PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan. Tak lupa permohonan maaf kami haturkan atas kekhilafan-kekhilafan dalam makalah ini. Kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini pada khususnya, dan makalah selanjutnya pada umumnya.Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.



[1]Ali Jarim dan Musthofa Amin, Al Balaghah al Wadihah, (Jakarta: Raudhoh Press, 2007), hlm. 119.
[2]Ali Jarim dan Musthofa Amin, Terjemahan Al Balaghah al Wadihah, (Jakarta: Raudhoh Press, 2007), hlm. 152.
[3]Muhammad Ghufron Zainal ‘Alim, al Balaghah fii ilmil Bayaan, (Ponorogo: Darussalam, tt), hlm. 57.
[4] Emil Badi’Yaqub, al Mu’ayyin fi al Balaghah: al Bayan, al Badi’, al Ma’any, (Beirut: Alam al Kutub, 2000), hlm. 30.
[5]Imam Akhdhori,Jauharul Maknun, terj, (Surabaya: Al-Hidayah,t.th), hlm.174-175

[6] Mardjoko Idris, Ilmu balaghah antara al-bayan dan al-badi’, (Yogyakarta: Teras, 2007), hlm. 45-46.

2 komentar :